Badai yang Reda

 Badai yang Reda


Langit di pagi itu tampak kelabu, menandakan bahwa hari ini akan berbeda. Namun, bagi Rina, suasana hati yang sedang buram membuatnya enggan untuk melihat dunia di luar jendela. Semalam, ia terlibat dalam perdebatan hebat dengan seseorang yang sangat berarti baginya. Kata-kata tajam terlontar, membuat hubungan yang sudah lama terjalin terasa retak. Rina merasa seperti dilanda badai, dan meskipun angin sudah mulai mereda, kesan dari pertengkaran itu masih menghantui hatinya.

Di tengah perasaan yang kacau, Rina melangkah menuju sekolahnya, SMK Nusa Widya Mandiri. Setiap hari ia menempuh perjalanan itu dengan perasaan yang berbeda. Namun hari ini, langkahnya terasa lebih berat, seolah angin yang sebelumnya mendorongnya maju kini menahan setiap gerakan. Sesampainya di gerbang sekolah, ia melihat teman-temannya yang tengah berbicara dengan riang. Mereka tidak tahu apa yang sedang dirasakannya, dan Rina pun tidak berniat untuk membaginya. Ia memilih untuk menyendiri, menyembunyikan kekacauan hatinya di balik senyuman palsu.

Baca Juga

Namun, suara langkah kaki yang berat mendekatinya membuatnya berhenti sejenak. Seorang teman, Maya, datang dengan ekspresi serius, memanggilnya dengan suara pelan.

“Rina, ada apa? Kau terlihat seperti kehilangan sesuatu.”

Rina menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Tidak ada, Maya. Hanya… ada masalah kecil dengan seseorang."

Maya menatapnya dengan penuh perhatian. “Rina, aku tahu kamu bukan tipe orang yang mudah terbawa perasaan. Tapi terkadang, masalah-masalah itu bisa menjadi badai yang sangat besar, bahkan kalau kita tidak bisa menanganinya. Kalau kamu mau cerita, aku ada di sini.”

Rina tersenyum tipis. Kata-kata Maya mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama ia lupakan. Betapa seringnya ia merasa seperti badai yang datang begitu mendalam, namun selalu ada hal yang membuatnya bisa kembali tenang. Seperti halnya lagu yang sering ia dengar, "Badai yang Reda" dari Payung Teduh, yang mengingatkan bahwa segala sesuatu yang buruk pasti akan berakhir.

Rina memutuskan untuk berjalan ke taman sekolah, tempat di mana ia sering merenung dan mengalihkan perhatian dari masalahnya. Pikirannya melayang ke kejadian semalam. Mungkin ia terlalu terbawa emosi, terlalu cepat memberi reaksi. Tetapi, seperti yang dikatakan Maya, badai itu memang datang begitu tiba-tiba, dan hanya waktu yang bisa meredakannya.

Sambil duduk di bangku taman, Rina menatap langit yang masih tampak gelap, meskipun matahari sudah mulai muncul di ufuk timur. Tiba-tiba, suara langkah kaki yang familiar membuatnya terperanjat. Tak disangka, Dimas, teman lama yang selama ini menjauh, berdiri di hadapannya dengan ragu.

"Rina, bisa kita bicara sebentar?" tanya Dimas dengan suara yang terdengar berbeda dari biasanya.

Rina hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Dimas duduk di sampingnya. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Dimas, namun rasa penasaran lebih besar. Ia ingin mendengar apa yang ingin disampaikan.

"Maafkan aku, Rina. Aku sadar kalau selama ini aku salah, dan aku ingin memperbaikinya," ujar Dimas, menatap Rina dengan penuh penyesalan.

Rina menghela napas. “Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dulu, saat kita masih saling peduli?”

Dimas terdiam. “Karena aku juga takut, Rina. Takut kalau badai ini akan membuat semuanya semakin buruk. Aku terlalu egois, merasa kalau hubungan kita tidak akan bisa bertahan. Tapi aku salah.”

Mendengar kata-kata itu, Rina merasa ada sesuatu yang berubah. Seperti hujan yang mulai reda setelah badai yang menderu. Mungkin, waktu memang benar-benar bisa meredakan semuanya. Namun, apakah ini cukup untuk memperbaiki segalanya? Rina tidak tahu.

“Badai memang datang, Dimas. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menunggu sampai reda. Kalau kita masih saling peduli, mungkin kita bisa melewati semua ini,” kata Rina, suara hatinya mulai tenang.

Dimas mengangguk pelan, dan mereka duduk bersama dalam keheningan, menyadari bahwa badai dalam hati masing-masing memang belum sepenuhnya reda, tetapi ada secercah harapan bahwa semuanya bisa diperbaiki.

Setelah beberapa menit, mereka bangkit dari bangku taman dan berjalan bersama ke arah kelas. Di jalan menuju kelas, mereka berpapasan dengan beberapa teman-temannya, termasuk Maya yang tersenyum lebar. Rina hanya memberi senyuman tipis sebagai tanda bahwa hari ini ada perubahan dalam dirinya. Tidak lagi terjebak dalam badai yang menghancurkan, tapi belajar untuk mencari kedamaian di tengah riuhnya hidup.

Sesampainya di kelas, Rina merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin badai itu masih ada, mungkin ia akan datang lagi suatu saat nanti, tetapi ia tahu satu hal. Setiap badai akan reda, dan setelah itu, kita akan belajar untuk kembali berdamai dengan diri sendiri dan orang-orang yang kita sayangi.

Hari itu di SMK Nusa Widya Mandiri menjadi hari yang penuh dengan pelajaran baru bagi Rina. Ia belajar bahwa perasaan itu kadang bisa datang dan pergi begitu saja, namun yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya. Badai dalam hidup tidak selalu harus dipadamkan dengan cepat; terkadang, kita hanya perlu memberi waktu untuk semuanya mereda, dan kita akan menemukan jalan menuju ketenangan.

Saat bel tanda pulang berbunyi, Rina melangkah keluar dengan hati yang lebih ringan. Mungkin badai itu belum sepenuhnya reda, tetapi ia tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Ada teman-teman di sekelilingnya, ada Dimas yang siap untuk memperbaiki semuanya. Yang terpenting, ada harapan bahwa segala yang buruk pasti akan berakhir.

"Terima kasih, SMK Nusa Widya Mandiri," bisiknya dalam hati. Sekolah ini bukan hanya tempat ia menimba ilmu, tetapi juga tempat di mana ia belajar tentang arti sejati dari pertemanan, perjuangan, dan bagaimana badai akhirnya reda.



Belum ada Komentar untuk "Badai yang Reda"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel